Powered By

Free XML Skins for Blogger

Powered by Blogger

Corporate Governance Mechanisms Throughout the World

Rabu, 22 Desember 2010

By William Judge
Editor in Chief

There are a wide variety of governance mechanisms used throughout the world. Previous literature has suggested that economies vary in terms of their emphasis on formal rules versus informal relationships (Li & Samsell, 2009), but this begs the question as to what rules and what relations guide governance activities. In Anglo-American economies, for example, the primary governance mechanism is the equity market (Saberwal & Smith, 2008). In Western European and some Asian economies, however, the primary governance mechanism is relatively concentrated ownership patterns via pyramidal ownership structures (Levy, 2009). However, Scandanavian economies appear to rely on social norms and expectations to a great extent (Stafsudd, 2009). In transition economies, like China, the primary governance mechanism is the state and informal networks (Shen & Lin, 2009). In India, business groups
provide accountability, especially in the larger firms (Zattoni, Pedersen, & Kumar, 2009). Notably, Islamic nations primarily rely on Sharia law to curb and guide business decisions (Safieddine, 2009). Of course, all of these characterizations are generalizations, and there are many exceptions to these observations within a particular economy (Wu, Xu, & Yuan, 2009). Furthermore, the game is constantly changing and there is convergence and divergence overtime within and between nations (Yoshikawa & Rasheed, 2009). As we seek a global
theory of international corporate governance, one of our goals is to describe and better understand the relative effectiveness of these mechanisms. In this issue, our understanding of many of these mechanisms grows substantially. For example, Judge, Li, and Pinsker (2010) in our lead article seek to explain why some nations adopt International Financial Reporting Standards (IFRS) in full, partially, or not at all across 132 economies. Arguing that adoption of IFRS standards is largely a legitimacy-seeking process, they find that nations replace
domestic GAAP standards with IFRS standards in response to coercive, mimetic, and normative pressures. Next, Wong, Chang, and Chen (2010) seek to explain how
the market responds to corporate venturing announcements in Taiwan. Taiwan is an interesting economy where family ownership is the primary governance mechanism. Using
agency logic, these authors explore the role of nepotism and ownership type to explain market reactions to corporate ventures. They find that the greater divergence between
cash flow and voting rights, the lower the abnormal returns resulting from venturing announcements. Also, they report that the degree of family control is also negatively related to degree of abnormal returns. Interestingly, the level of institutional ownership moderates these relationships. The third article by Chen, Elder, and Hung (2010) also focuses on the governance environment in Taiwan, where more than half of the listed firms are concentrated in high technology industries. Chen and associates seek to understand the relationship between institutional environment, ownership and earnings management. Using contracting
theory, they find that managers in high growth firms are more likely to engage in earnings management since it is harder to monitor their internal activities than managers in relatively low growth firms. Building on the concept of “investment opportunity set”, they show that Taiwanese managers tend to take advantage of asymmetric information through discretionary accruals. Rost and Osterloh (2010) redirect our attention to corporate governance in the aftermath of the global financial crisis. Using the upper echelons perspective, they theorize that financial experts will perform better in stable and predictable economic environments, but that more diverse collections of financial and non-financial experts will perform better in turbulent financial environments. Furthermore, they argue the male-dominated teams will perform better in “normal” situations, but that more gender diverse teams will perform better in “abnormal” conditions. In essence, the theoretical argument is that team diversity functions best in turbulent situations. Interestingly, they provide two studies which support their predictions. The first study is comprised of 479 students in Switzerland in a laboratory experiment where the students were asked to predict the future stock price of UBS bank. The second study is a field study which examined the top management teams of 30 banks in Switzerland. Both studies largely confirm the predictions leading to rather robust and novel insights. Finally, Chen, Chung, Hsu, and Wu (2010) refine our understanding of the corporate governance-firm value relationship within the United States. Using longitudinal data from 1990 to 2005, they predict that the corporate governance-firm value relationship is strongest for those firms with a high external financing need and relatively weak otherwise. Indeed, they do find external financing need to be positively related to the quality of corporate governance mechanisms in the firm, and that the greater the external need, the stronger the relationship. However, they report that firm value is positively related to subsequent internal corporate governance quality, not vice versa. As such, this longitudinal dataset confirms some expectations and creates some new questions to be explored. I commend this issue to your reading pleasure, and encourage you to refine and extend these insights. Many thanks to all the authors, reviewers, and editors who helped to pull this issue together. It clearly is a global team effort as we collectively seek to make our mark on the global
economy.

Empat Pilar Pembangunan

Diposkan oleh OtonomiDaerah.Net
Kebijakan pemberlakuan otonomi membuat setiap daerah memiliki kewenangan yang cukup besar dalam mengambil keputusan yang dianggap sesuai. Terlebih dengan pemilihan kepala daerah (pilkada) secara langsung yang diselenggarakan sejak tahun 2005, membuat kepala daerah terpilih mendapat legitimasi lebih kuat, dibanding saat dipilih oleh anggota DPRD.

Tentunya kepala daerah hasil pilkada langsung ini membuahkan harapan yang cukup besar bagi masyarakat, yaitu kesejahteraan yang akan makin meningkat. Tetapi harapan tersebut ternyata tidak mudah untuk diwujudkan. Kekuatan visi & kompetensi kepala daerah terpilih menjadi salah satu penentu, di samping faktor-faktor lain. Tantangan terberat bagi kepala daerah terpilih adalah melaksanakan visi, misi, dan janji-janji semasa kampanye, yang hampir semuanya pasti baik.

Setidaknya ada empat hal yang harus dimiliki dan disiapkan oleh seorang Kepala Daerah agar visi membangun dan mensejahterakan rakyatnya menjadi kenyataan. Empat hal itulah yang disebut dengan 4 Pilar Pembangunan. Disebut empat pilar pembangunan karena dengan 4 hal ini diharapkan seorang kepala daerah dapat menjalankan perannya dalam membangun daerahnya bisa optimal.

Pilar Pertama: Sumber Daya Manusia (SDM)

Mengapa SDM ? Karena pada dasarnya manusialah yang menjadi pelaku dan penentu. SDM seperti apa yang diperlukan ? Yaitu SDM yang memiliki: moral yang baik (good morality), kemampuan kepemimpinan (leadership), kemampuan manajerial (managerial skill), dan kemampuan teknis (technical skill). Seorang kepala daerah perlu didukung oleh aparat yang mempunyai empat kualifikasi tersebut, diberbagai level jabatan & fungsinya.

Moral yang baik menjadi prasyarat utama. Karena tanpa moral yang baik, semua kebijakan, sistem, program maupun kegiatan yang dirancang akan menjadi sia-sia. Tentunya kita menyaksikan terjadinya krisis moneter yang dimulai tahun 1997 lalu, kemudian krisis ekonomi, krisis kepemimpinan, dan masih terus berlanjut yang hingga sekarang masih dirasakan dampaknya. Sebab utama terjadinya krisis itu tidak lain adalah rendahnya moral sebagian pengambil kebijakan negeri ini.

Moral yang baik akan menghasilkan sebuah pemerintahan yang bersih dari tindakan korupsi, kolusi, dan nepotisme demi kepentingan pribadi atau golongan tertentu saja. Saat ini tuntutan penerapan 3G (Good Government Governance) terus-menerus digaungkan oleh berbagai pihak. Penerapan prinsip-prinsip transparansi & akuntabilitas tanpa didukung oleh aparat yang bermoral baik, pada akhirnya hanya akan berhenti di tingkat wacana saja.

Oleh karena itu, sejak awal dilantik, seorang kepala daerah harus segera menyiapkan aparatnya dalam aspek moral ini. Termasuk menjadikan dirinya sebagai teladan bagi semua bawahannya.

Moral yang baik belumlah cukup, tapi juga harus diimbangi dengan kompetensi. Yaitu kemampuan di bidang kepemimpinan, manajerial, dan teknis. Untuk mencapai kompetensi yang diperlukan, tidak terlepas dari sistem kepegawaian yang diterapkan. Model manajemen SDM berbasis kompetensi nampaknya menjadi keniscayaan. Termasuk sistem kompensasi yang memadai harus menjadi perhatian.

Selain itu perlu didukung dengan perubahan paradigma, yaitu dari mental penguasa menjadi pelayan masyarakat. Termasuk budaya kerja yang proaktif & cepat tanggap terhadap persoalan yang dihadapi masyarakat.

Pilar Kedua: Kebijakan

Maksudnya adalah berbagai konsep kebijakan yang berpihak kepada berbagai stakeholder, terutama kepentingan masyarakat luas. Secara formal, kebijakan tersebut akan dituangkan dalam peraturan daerah (perda) maupun peraturan kepala daerah.

Kepala daerah antara lain harus memiliki konsep pembangunan berkelanjutan & berkeadilan, konsep manajemen pemerintahan yang efektif & efisien, konsep investasi yang mengakomodir kepentingan pihak terkait, serta berbagai konsep kebijakan lainnya.

Hal ini sesuai dengan UU No. 25 Tahun 2004 dan UU No. 32 Tahun 2004, yang mengamanatkan kepala daerah untuk menyusun RPJMD (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah), yang menjabarkan visi & misinya selama lima tahun masa pemerintahannya. Sehingga dengan demikian arah pembangunan sejak dilantik hingga lima tahun ke depan sudah jelas.

Salah satu indikator keberhasilan pembangunan suatu daerah antara lain jika pemerintah dapat memenuhi 5 kebutuhan dasar masyarakatnya, yaitu: pangan, sandang, papan (perumahan), pendidikan, dan kesehatan. Selain itu kepala daerah harus mampu melihat suatu permasalahan secara komprehensif dan integratif, jangan sampai terjebak hanya melihat secara sektoral dan parsial, ataupun keuntungan jangka pendek.

Jangan sampai seorang kepala daerah tidak tahu harus berbuat apa. Jika demikian, pemerintahan akan berjalan tak tentu arah. Sehingga pada akhirnya, rakyatlah yang harus menanggung akibatnya.

Pilar Ketiga: Sistem

Artinya pemerintahan harus berjalan berdasarkan sistem, bukan tergantung pada figur. Sangat penting bagi kepala daerah untuk membangun sistem pemerintahan yang kuat.

Beberapa sistem yang harus dibangun agar pemerintahan dapat berjalan secara baik antara lain: sistem perencanaan pembangunan, sistem pengelolaan keuangan daerah, sistem kepegawaian, sistem pengelolaan aset daerah, sistem pengambilan keputusan, sistem penyeleksian dan pemilihan rekanan, sistem dan standar pelayanan, sistem pengawasan.

Sistem yang dimaksud di sini dapat bersifat manual maupun yang berbasis teknologi informasi. Dukungan teknologi informasi menjadi sesuatu yang tidak dapat dielakkan jika pemerintahan ingin berjalan lebih efisien dan efektif.

Penerapan sistem-sistem tersebut akan mendorong terjadinya 3G (Good Government Governance), yang pada akhirnya akan menghasilkan pemerintahan yang transparan dan akuntabel.

Pilar Keempat: Investasi

Tidaklah mungkin suatu pemerintahan daerah hanya mengandalkan dana dari APBD untuk membangun daerahnya. Mengapa ? Karena bisa dikatakan, sebagian besar daerah menggunakan rata-rata 2/3 dana APBD tersebut untuk membiayai penyelenggaraan aparaturnya. Hanya sekitar 1/3 yang dapat dialokasikan untuk pembangunan.

Dibutuhkan dana ratusan milyar bahkan triliunan rupiah untuk membangun infrastruktur, seperti pembangkit listrik, jalan tol, pelabuhan laut, bandar udara, telekomunikasi, rumah sakit, hotel. Sedangkan infrastruktur merupakan syarat agar sebuah daerah dapat berkembang. Contoh lain adalah dalam rangka mengoptimalkan potensi sumber daya alam yang dimiliki, juga memerlukan dana yang tidak sedikit, yang tentunya tidak mungkin jika hanya mengandalkan dana APBD saja.

Dengan keterbatasan dana yang dimiliki tersebut, mau tidak mau pemerintah daerah harus melibatkan pihak investor (dalam maupun luar negeri) dalam membangun daerahnya. Kepala daerah harus dapat menciptakan iklim yang kondusif agar para investor tertarik untuk menanamkan investasi di daerahnya.

Setidaknya ada empat stakeholder yang harus diperhatikan kepentingannya saat kita bicara tentang investasi, yaitu pihak investor, pemerintah daerah, masyarakat, dan lingkungan. Investor tentunya berkepentingan agar dana yang dinvestasikannya menghasilkan profit yang memadai, ingin mendapatkan berbagai kemudahan dan adanya jaminan keamanan dalam berinvestasi. Pihak pemerintah daerah ingin agar pendapatan asli daerahnya (PAD) meningkat. Masyarakat berharap kesejahteraannya makin meningkat dan lapangan kerja makin terbuka. Lingkungan perlu diperhatikan agar tetap terjaga kelestariannya. Jangan sampai karena terlalu bersemangat, akhirnya secara jangka panjang terjadi pengrusakan lingkungan.

Oleh karena itu dibutuhkan kebijakan dan model investasi yang dapat menyeimbangkan berbagai kepentingan tersebut.

Demikianlah empat pilar pembangunan yang dapat dijadikan bekal bagi kepala daerah dalam memimpin daerahnya. Selamat berjuang pak Gubernur, Bupati, dan Walikota ! Harapan rakyat ada di pundak anda.

Tingkatkan Relasi Sosial RI-AS

Tingkatkan Relasi Sosial RI-AS

PEMASARAN DALAM PERUSAHAN

A. PENGERTlAN PEMASARAN
Philip Kotler dalam bukunya Marketing Management Analysis, Planning, and Control, mengartikan pemasaran secara lebih luas, yaitu: Pemasaran adalah: Suatu proses sosial, dimana individu dan kelompok mendapatkan apa yang mereka butuhkan, dan mereka inginkan dengan menciptakan dan mempertahankan produk dan nilai dengan individu dan kelompok lainnya.
B. PASAR SASARAN
Pasar sasaran (Target Market) adalah: Sekelompok konsumen atau pelanggan yang secara khusus menjadi sasaran usaha pemasaran bagi sebuah perusahaan.
Dalam menerapkan pasar sasaran, terdapat tiga langkah pokok yang harus diperhatikan, yaitu:
1. Segmentasi Pasar
2. Penetapan Pasar Sasaran
3. Penempatan Produk

Ada empat ktiteria yang harus dipenuhi segmen pasar agar proses segmentasi pasar dapat dijalankan dengan efektif dan bermanfaat bagi perusahaan, yaitu:

• Terukur (Measurable), artinya segmen pasar tesebut dapat diukur, baik besarnya, maupun luasnya serta daya beli segmen pasar tersebut.
• Terjangkau (Accessible), artinya segmen pasar tersebut dapat dicapai sehingga dapat dilayani secara efektif.
• Cukup luas (Substantial), sehingga dapat menguntungkan bila dilayani.
• Dapat dilaksanakan (Actjonable), sehingga semua program yang telah disusun untuk menarik dan melayani segmen pasar itu dapat efektif.

Kebijakan segmentasi pasar haruslah dilakukan dengan menggunakan ktiteria tertentu. Tentunya segmentasi ini berbeda antara barang industri dengan barang konsumsi. Namun dengan demikian secara umum setiap perubahan akan mensegmentasikan pasarnya atas dasar:

a. Segmentasi atas dasar Geografis, Segmentasi pasar ini dilakukan dengan cara membagi pasar kedalam unit-unit geografis seperti negara, propinsi, kabupaten. kota, desa, dan lain sebagainya. Dalam hal ini perusahaan akan beroperasi disemua segmen, akan tetapi, harus memperhatikan perbedaan kebutuhan dan selera yang ada dimasing-masing daerah.
b. Segmentasi atas dasar Demografis, Segmentasi pasar ini dapat dilakukan dengan cara memisahkan pasar kedalam kelompok-kelompok yang didasarkan pada variabel-variabel demografis, seperti umur, jenis kelamin, besarnya keluarga, pendapatan, agama, pendidikan, pekerjaan, dan lain-lain.
c. Segmentasi atas dasar psychografis, Segmentasi pasar ini dilakukan dengan cara membagi-bagi konsumen kedalam kelompok-kelompok yang berlainan menurut kelas sosial, gaya hidup, berbagai ciri kepribadian, motif pembelian, dan lain-lain.

2. Penetapan Pasar Sasaran ( Target market)

Adalah merupakan kegiatan yang berisi dan menilai serta memilih satu atau lebih segmen pasar yang akan dimasuki oleh suatu perusahaan. Apabila perusahaan ingin menentukan segmen pasar mana yang akan dimasukinya, maka langkah yang pertama adalah menghitung dan menilai porensi profit dari berbagai segmen yang ada tadi. Maka dalam hal ini pemasar harus mengerti betul tentang teknik-teknik dalam mengukur potensi pasar dan meramalkan permintaan pada masa yang akan datang.

3. Penempatan produk ( Product Positioning)
Penempatan produk mencakup kegiatan merumuskan penempatan produk dalam persaingan dan menetapkan bauran pemasaran yang terperinci. Pada hakekatnya Penempatan produk adalah: Tindakan merancang produk dan bauran pemasaran agar tercipta kesan tertentu diingatan konsumen.
Bagi setiap segmen yang dimasuki perusahaan, perlu dikembangkan suatu strategi penempatan produk. Saat ini setiap produk yang beredar dipasar menduduki posisi tertentu dalam segmen pasamya. Apa yang sesungguhnya penting disini adalah persepsi atau tanggapan konsumen mengenai posisi yang dipegang oleh setiap produk dipasar.
C. BAURAN PEMASARAN
Menurut William J.Stanton pengertian marketing mix secara umum adalah sebagai berikut: marketing mix adalah istilah yang dipakai untuk menjelaskan kombinasi empat besar pembentuk inti sistem pemasaran sebuah organisasi. Keempat unsur tersebut adlah penawaran produk/jasa, struktur harga, kegiatan promosi, dan sistem distribusi.
Keempat unsur atau variabel bauran pemasaran (Marketing mix) tersebut atau yang disebut four p's adalah sebagai berikut:
1. Strategi Produk
2. Strategi Harga
3. Strategi Penyaluran / Distribusi
4. Strategi Promosi
Marketing mix yang dijalankan harus disesuaikan dengan situasi dan kondisi perusahaan. Disamping itu marketing mix merupakan perpaduan dari faktor-faktor yang dapat dikendalikan perusahaan untuk mempermudah buying decision, maka variabel-variabel marketing mix diatas tadi dapat dijelaskan sedikit lebih mendalam sebagai berikut:

1. Produk (Jasa)
Kebijaksanaan mengenai produk atau jasa meliputi jumlah barang/jasa yang akan ditawarkan perusahaan, pelayanan khusus yang ditawarkan perusahaan guna mendukung penjualan barang dan jasa, dan bentuk barang ataupun jasa yang ditawarkan. Produk merupakan elemen yang paling penting. sebab dengan inilah perusahaan berusaha untuk memenuhi "kebutuhan dan keinginan" dari konsumen. namun keputusan itu tidak berdiri sebab produk/jasa sangat erat hubungannya dengan target market yang dipilih. Sedangkan sifat dari produk/jasa tersebut adalah sebagai berikut:
1. Tidak berwujud
Jasa mempunyai sifat tidak berwujud, karena tidak bisa dilihat, dirasa, diraba, didengar atau dicium, sebelum ada transaksi pembelian.
2. Tidak dapat dipisahkan
Suatu produk jasa tidak dapat dipisahkan dari sumbernya, apakah sumber itu merupakan orang atau benda. Misalnya jasa yang diberikan oleh sebuah hotel tidak akan bisa terlepas dari bangunan hotel tersebut.
3. Berubah-ubah
Bidang jasa sesungguhnya sangat mudah berubah-ubah, sebab jasa ini sangat tergantung kepada siapa yang menyajikan, kapan disajikan dan dimana disajikan. Misalnya jasa yang diberikan oleh sebuah hotel berbintang satu akan berbeda dengan jasa yang diberiakan oleh hotel berbintan tiga.
4. Daya tahan
Jasa tidak dapat disimpan. Seorang pelanggan yang telah memesan sebuah kamar hotel akan dikenakan biaya sewa, walaupun pelanggan tersebut tidak menempati karnar yang ia sewa.

2. Harga ( Price)
Kebijaksanaan harga erat kaitannya dengan keputusan tentang jasa yang dipasarkan. Hal ini disebabkan harga merupakan penawaran suatu produk atau jasa. Dalam penetapan harga, biasanya didasarkan pada suatu kombinasi barang/jasa ditambah dengan beberapa jasa lain serta keuntungan yang memuaskan. Berdasarkan harga yang ditetapkan ini konsumen akan mengambil keputusan apakah dia membeli barang tersebut atau tidak. Juga konsumen menetapkan berapa jumlah barang/jasa yang harus dibeli berdasarkan harga tersebut. Tentunya keputusan dari konsumen ini tidak hanya berdasarkan pada harga semata, tetapi banyak juga faktor lain yang menjadi pertimbangan, misalilya kualitas dari barang atau jasa, kepercayaan terhadap perusahaan dan sebagainya.
Hendaknya setiap perusahaan dapat menetapkan harga yang peling tepat, dalam arti yang dapat memberikan keuntungan yang paling baik, baik untuk jangka pendek maupun unluk jangka panjang.

3. Saluran Distribusi ( Place )
Yang tidak boleh diabaikan dalam langkah kegiatan memperlancar arus barang/jasa adalah memilih saluran distribusi (Channel Of Distribution). Masalah pemilihan saluran distribusi adalah masalah yang berpengaruh bagi marketing, karena kesalahan dalam memilih dapat menghambat bahkan memacetkan usaha penyaluran produk/jasa dari produsen ke konsumen.
Distributor-distributor atau penyalur ini bekerja aktif untuk mengusahakan
perpindahan bukan hanya secara fisik tapi dalam arti agar jasa-jasa tersebut dapat diterima oleh konsumen. Dalam memilih saluran distribusi ini ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan, yaitu sebagai berikut:
a. Sifat pasar dan lokasi pembeli
b. Lembaga-lembaga pemasaran terutama pedagang-pedagang perantara
c. Pengendalian persediaan, yaitu menetapkan tingkat persediaan yang ekonomis.
d. Jaringan pengangkutan.
Saluran distribusi jasa biasanya menggunakan agen travel untuk menyalurkan jasanya kepada konsumen. Jadi salah satu hal yang penting untuk diperhatikan dalam kebijaksanaan saluran distribusi itu sendiri dengan memperhitungkan adanya perubahan pada masyarakat serta pola distribusi perlu mengikuti dinamika para konsumen tadi.

4. Promosi ( Promotion)
Aspek ini berhubungan dengan berbagai usaha untuk memberikan informasi pada pasar tentang produk/jasa yang dijual, tempat dan saatnya. Ada beberapa cara menyebarkan informasi ini, antara lain periklanan (advertising), penjualan pribadi (Personal Selling), Promosi penjualan (Sales Promotion) dan Publisitas (Publicity)

 Periklanan (Advertising): Merupakan alat utama bagi pengusaha untuk mempengaruhi konsumennya. Periklanan ini dapat dilakukan oleh pengusaha lewat surat kabar, radio, majalah, bioskop, televisi, ataupun dalam bentuk poster-poster yang dipasang dipinggir jalan atau tempat-tempat yang strategis.

 Penjualan Pribadi (Personal selling): Merupakan kegiatan perusahaan untuk melakukan kontak langsung dengan calon konsumennya. Dengan kontak langsung ini diharapkan akan terjadi hubungan atau interaksi yang positif antara pengusaha dengan calon konsumennya itu. Yang termasuk dalam personal selling adalah: door to door selling, mail order, telephone selling, dan direct selling.

 Promosi Penjualan (Sales Promotion): Merupakan kegiatan perusahaan untuk menjajakan produk yang dipasarkarlnya sedemikian rupa sehingga konsumen akan mudah untuk melihatnya dan bahkan dengan cara penempatan dan pengaturan tertentu, maka produk tersebut akan menarik perhatian konsumen.

 Publsitas (Pubilicity): Meripakan cara yang biasa digunakan juga oleh perusahaan untuk membentuk pengaruh secara tidak langsung kepada konsumen, agar mereka menjadi tahu, dan menyenangi produk yang dipasarkannya, hal ini berbeda dengan promosi, dimana didalam melakukan publisitas perusahaan tidak melakukan hal yang bersifat komersial. Publisitas merupakan suatu alat promosi yang mampu membentuk opini masyarakat secara tepat, sehingga sering disebut sebagai usaha untuk "mensosialisasikan" atau "memasyarakatkan ".
Dalam hal ini yang harus diperhatikan adalah tercapainya keseimbangan yang efektif, dengan mengkombinasikan komponen-komponen tersebut kedalam suatu strategi promosi yang terpadu untuk berkomunikasi dengan para pembeli dan para pembuat keputusan pembelian.

BBJ dan Edukasi Publik

Perdagangan berjangka terasa awam di telinga saya. Sebagai mahasiswa semester VII sebuah Perguruan Tinggi swasta di Jakarta, saya berkeinginan untuk mengetahui ikwal transaksi “untuk masa depan” (futures) ini secara lebih mendalam. Sayang, usaha mencari informasi kesana kemari, tidak banyak hal saya peroleh. Literatur yang saya dapat dari pustaka kampus tidak banyak menolong saya untuk memahami lebih detail.
Pencarian referensi melalui dunia maya, ahkirnya mengantarkan saya pada website Bursa Berjangka Jakarta (BBJ). Literatur dunia maya ini sekurang-kurangnya menjadi guidance bagi saya, meski terbatas, untuk mengenal seluk beluk apa yang disebut transaksi derivatif futures dan foward ini.
Pencarian pertama saya pada website BBJ adalah keingintahuan tentang apa yang disebut dengan perdagangan berjangka derivatif atas kontrak dengan pokok atau subjek komoditas seperti kopi, lada, jagung, minyak kelapa sawit mentah (crude palm oil/cpo), dan kakao. Pada pencarian informasi itu, akhirnya saya peroleh apa yang disebut olein, sebuah produk turunan dari CPO yang ternyata kontrak berjangkanya ditransaksikan di BBJ.
Namun, sebelum lebih jauh mendalami hal-hal teknis tentang perdagangan berjangka yang tersedia di BBJ, saya kemudian tertarik untuk membandingkan, sekurang-kurangnya mencocokan apa yang saya peroleh dalam literatur pustaka kampus dengan praktik transaksinya di BBJ. Pendapat umum yang mengatakan pengetahuan akademis yang dipelajari belum tentu selalu sama dengan praktik di dunia nyata, menjadi dasar saya untuk upaya pembandingan itu. Namun demikian, tidak banyak menolong. Pengetahuan yang saya peroleh di kampus tentang adanya korelasi antara transaksi derivatif yang berlangsung pada pasar kedua (sekunder) dengan aktivitas atau transaksi yang terjadi di pasar pertama (primer) atau yang disebut spot market, ternyata tidak mudah untuk diperbandingkan dengan transaksi yang berlaku di BBJ.
Lagi-lagi upaya membandingkan itu mengantarkan saya pada dua artikel, yang hemat saya ditulis oleh orang yang berpengetahuan luas tentang perdagangan berjangka. Tulisan pertama dibuat oleh Prof Roy Sembel, yang kalau tidak salah, pada waktu menulis artikel itu sedang menjabat sebagai Dekan di sebuah universitas swasta di Jakarta. Belakangan saya tahu, Prof Roy Sembel kini menjabat sebagai salah satu Direktur BBJ. Artikel kedua ditulis Hasan Zein Mahmud, yang pada waktu menulis menjabat sebagai Dirut BBJ. Jujur saya lupa judul dua artikel itu. Namun, sebagai mahasiswa tulisan kedua pakar itu sangat membantu saya untuk mengenal seluk-beluk perdagangan berjangka secara lebih baik.

Korelasi Pasar
Pengetahuan yang saya peroleh di kampus tentang korelasi pasar primer dan sekunder, misalnya, cukup jelas dipaparkan Hasan Zein Mahmud dalam tulisannya. Disebutkan, likuiditas transaksi di pasar sekunder tidak akan tercipta jika tidak ada likuiditas serupa di pasar primer. Perbandingannya paralel dan harus berkorelasi positif. Itu sebabnya, saya kemudian menjadi paham mengapa kontrak berjangka olein yang ditransaksikan di BBJ tidak likuid. Sebab, aktivitas transaksi di pasar spot atau pasar primer olein tersebut juga tidak likuid. Artinya, bagi mereka yang mau mentransaksikan kontrak berjangka (futures dan foward) otomatis mengacu pada pergerakan harga di pasar primer olein itu. Dengan demikian saya menjadi paham bahwa likuiditas pasar sekunder kontrak berjangka ternyata ditentukan oleh pasar primernya.
Pada tulisan Prof Roy Sembel cukup membantu saya memahami perlunya transaksi kontrak berjangka dalam kaitan dengan upaya lindung nilai atau hedging. Dalam artikel itu disebutkan, pada dasarnya transaksi kontrak berjangka yang sering disebut derivatif memiliki tiga tujuan yang sama pentingnya. Pertama, semua orang yang memiliki persediaan komoditas seperti, katakanlah kopi, kakao, atau CPO harus menjaga agar nilai dari komoditas –komoditas itu tidak merosot. Nilai komoditas erat kaitannya dengan harga komoditas itu di pasar. Dengan begitu, bagi yang memiliki persediaan selalu bisa memanfaatkan bursa untuk melakukan transaksi derivatif dengan tujuan lindung nilai. Jika dia yakin harga kopi miliknya di gudang akan turun satu bulan ke depan, maka orang itu harus menjual saja kontraknya di bursa dengan volume yang sama dengan kopinya di gudang tanpa perlu menjual secara fisik kopi miliknya. Satu bulan berikut apabila benar harga kopi di pasar turun dia tidak rugi. Sebab, kopi fisik masih tersedia di gudang sedangkan kopi dalam kontraknya sudah terjual. Dengan begitu orang ini sudah berhasil melindungi nilai persediaan kopinya.
Tujuan kedua dari transaksi derivatif kontrak berjangka adalah menjadikannya harga yang tercipta di bursa sebagai harga acuan atau reference price. Bagi para produsen maupun konsumen harga acuan ini penting untuk menentukan operasional perusahan sebagai posisinya apakah sebagai produsen atau konsumen. Tujuan ketiga adalah investasi. Bagi banyak orang memanfaatkan perubahan harga komoditas yang tidak menentu memberi peluang meraih keuntungan.
Oleh karena itu, sebagai mahasiswa yang cukup serius berminat pada perdagangan berjangka, kehadiran bursa ini terasa sangat penting. Apalagi dengan hadirnya Prof Roy Sembel sebagai salah satu pengurus teras BBJ, saya mengharapkan aspek edukasi bagi masyarakat umum, juga mahasiswa bisa lebih giat lagi.
Sekedar perbandingan, saya kemudian menjadi mahfum bahwa keberhasilan sebuah bursa berjangka di sebuah negara ternyata harus butuh proses yang panjang. Bursa Malaysia membutuhkan waktu hampir 30 tahun baru menjadi bursa yang cukup likuid mentransaksikan kontrak berjangka CPO. Demikian juga bursa berjangka di Amerika juga Belanda membutuhkan waktu yang tidak sedikit. BBJ baru berumur 10 tahun, hemat saya terlalu berlebihan jika memaksanya untuk segera menjadi hebat. Namun, melalui gebrakan direksi yang ada harapan masyarakat bisa menjadi kenyataan agar BBJ segera menjadi tempat acuan harga sejumlah komoditas. Namun, sebagai mahasiswa saya tetap beranggapan bahwa edukasi dan sosialisasi menjadi faktor kunci agar perdagangan berjangka diterima di masyarakat.

Moral Bisnis dalam Perusahan

Rabu, 15 Desember 2010

I.Penerapan moral bisnis dalam perusahaan:
Enron merupakan perusahaan dari penggabungan antara InterNorth (penyalur gas alam melalui pipa) dengan Houston Natural Gas. Kedua perusahaan ini bergabung pada tahun 1985. Bisnis inti Enron bergerak dalam industri energi, kemudian melakukan diversifikasi usaha yang sangat luas bahkan sampai pada bidang yang tidak ada kaitannya dengan industri energi. Diversifikasi usaha tersebut, antara lain meliputi future transaction, trading commodity non energy dan kegiatan bisnis keuangan.Kasus Enron mulai terungkap pada bulan Desember tahun 2001 dan terus menggelinding pada tahun 2002 berimplikasi sangat luas terhadap pasar keuangan global yang di tandai dengan menurunnya harga saham secara drastis berbagai bursa efek di belahan dunia, mulai dari Amerika, Eropa, sampai ke Asia. Enron, suatu perusahaan yang menduduki ranking tujuh dari lima ratus perusahaan terkemuka di Amerika Serikat dan merupakan perusahaan energi terbesar di AS jatuh bangkrut dengan meninggalkan hutang hampir sebesar US $ 31.2 milyar.
Dalam kasus Enron diketahui terjadinya perilaku moral hazard diantaranya manipulasi laporan keuangan dengan mencatat keuntungan 600 juta Dollar AS padahal perusahaan mengalami kerugian. Manipulasi keuntungan disebabkan keinginan perusahaan agar saham tetap diminati investor, kasus memalukan ini konon ikut melibatkan orang dalam gedung putih, termasuk wakil presiden Amerika Serikat.
Contoh kasus Enron yang selain menhancurkan dirinya telah pula menghancurkan Kantor Akuntan Publik Arthur Andersen yang memiliki reputasi internasional, dan telah dibangun lebih dari 80 tahun, menunjukan bahwa penyebab utamanya adalah praktek etika perusahaan tidak dilaksanakan dengan baik dan tentunya karena lemahnya kepemimpinan para pengelolanya. Dari pengalaman berbagai kegagalan tersebut, kita harus makin waspada dan tidak terpana oleh cahaya dan kilatan suatu perusahaan hanya semata-mata dari penampilan saja, karena berkilat belum tentu emas.
II. Dalam menciptakan etika bisnis, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, antara lain :
a. Pengendalian Diri
Artinya pelaku-pelaku bisnis dan pihak yang terkait mampu mengendalikan diri mereka masing masing untuk tidak memperoleh apapun dari siapapun dan dalam bentuk apapun.
contoh: Para pegawai hendaknya menahan diri agar tidak menerima imbalan yang tidak seharusnya ia dapatkan dari pekerjaannya.
b. Pengembangan tanggung jawab sosial (social responsibility)
Pelaku bisnis di sini dituntut untuk peduli dengan keadaan masyarakat, bukan hanya bentuk “uang” dengan jalan memberikan sumbangan, melainkan lebih kompleks lagi.
contoh: perusahaan memperhatikan CSR terhadap sekitar, perekrutan karyawan dari masyarakat sekitar, penanganan AMDAL agar tidak merugikan lingkungan sekitar, memberikan layanan kesehatan gratis pada masyarakat.
c. Menciptakan persaingan yang sehat
Persaingan dalam dunia bisnis perlu untuk meningkatkan efisiensi dan kualitas, tetapi persaingan tersebut tidak mematikan yang lemah, dan sebaliknya, harus terdapat jalinan yang erat antara pelaku bisnis besar dan golongan menengah ke bawah, sehingga dengan perkembangannya perusahaan besar mampu memberikan spread effect terhadap perkembangan sekitarnya.
Contoh : Iklan yang tidak sesuai dengan kenyataan, berbagai iklan yang sering kita saksikan di media televisi,atau dipajang di media cetak, media indoor maupun outdoor, atau kita dengarkan lewat radio seringkali memberikan keterangan palsu.
d. Menerapkan konsep “pembangunan berkelanjutan”
Dunia bisnis seharusnya tidak memikirkan keuntungan hanya pada saat sekarang, tetapi perlu memikirkan bagaimana dengan keadaan di masa mendatang.
Contoh : Industri manufaktur yang berbahan baku dari alam, tidak hanya mengeksploitasi kekayaan alam tanpa melakukan restrukturisasi alam untuk generasi mendatang
e. Menghindari sifat 5K (Katabelece, Kongkalikong, Koneksi, Kolusi dan Komisi)
Jika pelaku bisnis sudah mampu menghindari sikap seperti ini, kita yakin tidak akan terjadi lagi apa yang dinamakan dengan korupsi, manipulasi dan segala bentuk permainan curang dalam dunia bisnis ataupun berbagai kasus yang mencemarkan nama bangsa dan negara.
Contoh : para pengusaha menghindari kejahatan kerah putih dengan melakukan pendekatan-pendekatan birokrasi yang tidak baik dalam menjalankan bisnisnya..

III. Kebutuhan dasar yang harus dipenuhi dalam sebuah profesi, yaitu :
1. Kredibilitas adalah kualitas, kapabilitas, atau kekuatan untuk menimbulkan kepercayaan.
contohnya: agar seorang karyawan dapat dipercaya oleh pemimpin perusahaan harus menunjukkan kredibilitasnya baik di lingkungan kerja maupun sehari-harinya.
2. Profesionalisme adalah sifat-sifat (kemampuan, kemahiran, cara pelaksanaan sesuatu dan lain-lain) sebagaimana yang sewajarnya terdapat pada atau dilakukan oleh seorang profesional.
contohnya: Profesionalisme yang tinggi ditunjukkan oleh besarnya keinginan untuk selalu meningkatkan dan memelihara imej profesion melalui perwujudan perilaku profesional. Perwujudannya dilakukan melalui berbagai-bagai cara misalnya penampilan, cara percakapan, penggunaan bahasa, sikap tubuh badan, sikap hidup harian, hubungan dengan individu lainnya.
3. Kualitas Jasa maksudnya terdapat keyakinan bahwa semua jasa yang diperoleh dari akuntan diberikan dengan standar kinerja tertinggi.
Contohnya: KAP harus memiliki kualitas jasa yang tinggi agar mendapat respon yang baik di masyarakat.
4. Kepercayaan merupakan kunci untuk mempertahankan hubungan jangka panjang antara organisasi dengan konsumen.

Positif HIV/AIDS : Aktor Film Porno Kena Batunya

Kamis, 09 Desember 2010

By Republika.co.id
REPUBLIKA.CO.ID, LOS ANGELES--Seorang aktor yang berdasar tes terbaru yang diikutinya positif mengidap HIV/AIDS meradang. Ia menuntut perusahaan pembuat film porno untuk menutup usahanya dan menyatakan gagal melindungi para pemainnya dari virus mematikan itu.
Dalam sebuah konferensi pers emosional, Derrick Burts, 24 tahun, meminta penggunaan kondom untuk menjadi wajib dan mengikat dalam setiap pembuatan film porno. Ia mengatakan bahwa tes rutin bulanan tidak cukup untuk menjaga aktor porno aman.
Ia menyatakan kekecewaannya pada Adult Industry Medical Healthcare Foundation (AIM),sebuah klinik untuk pemain di industri porno yang berbasis di utara San Fernando Valley di Los Angeles, yang membuatnya tidak diobati selama sebulan setengah.
"Orang yang berada di belakang industri itu, harus mengubah sistem agar lebih melindungi pemain mereka,"kata Burts. Ini adalah kali pertama ia berbicara di depan publik setelah romors yang menyatakan ia positif mengidap HIV.
Berulang kali ia menghentikan bicaranya untuk sesenggukan. "Ini adalah industri miliaran dolar, dan mereka tidak bisa berbuat apa-apa ketika tes seseorang positif .. perlu ada lebih banyak yang harus dilakukan," ujarnya.