Powered By

Free XML Skins for Blogger

Powered by Blogger

Corporate Governance Mechanisms Throughout the World

Rabu, 22 Desember 2010

By William Judge
Editor in Chief

There are a wide variety of governance mechanisms used throughout the world. Previous literature has suggested that economies vary in terms of their emphasis on formal rules versus informal relationships (Li & Samsell, 2009), but this begs the question as to what rules and what relations guide governance activities. In Anglo-American economies, for example, the primary governance mechanism is the equity market (Saberwal & Smith, 2008). In Western European and some Asian economies, however, the primary governance mechanism is relatively concentrated ownership patterns via pyramidal ownership structures (Levy, 2009). However, Scandanavian economies appear to rely on social norms and expectations to a great extent (Stafsudd, 2009). In transition economies, like China, the primary governance mechanism is the state and informal networks (Shen & Lin, 2009). In India, business groups
provide accountability, especially in the larger firms (Zattoni, Pedersen, & Kumar, 2009). Notably, Islamic nations primarily rely on Sharia law to curb and guide business decisions (Safieddine, 2009). Of course, all of these characterizations are generalizations, and there are many exceptions to these observations within a particular economy (Wu, Xu, & Yuan, 2009). Furthermore, the game is constantly changing and there is convergence and divergence overtime within and between nations (Yoshikawa & Rasheed, 2009). As we seek a global
theory of international corporate governance, one of our goals is to describe and better understand the relative effectiveness of these mechanisms. In this issue, our understanding of many of these mechanisms grows substantially. For example, Judge, Li, and Pinsker (2010) in our lead article seek to explain why some nations adopt International Financial Reporting Standards (IFRS) in full, partially, or not at all across 132 economies. Arguing that adoption of IFRS standards is largely a legitimacy-seeking process, they find that nations replace
domestic GAAP standards with IFRS standards in response to coercive, mimetic, and normative pressures. Next, Wong, Chang, and Chen (2010) seek to explain how
the market responds to corporate venturing announcements in Taiwan. Taiwan is an interesting economy where family ownership is the primary governance mechanism. Using
agency logic, these authors explore the role of nepotism and ownership type to explain market reactions to corporate ventures. They find that the greater divergence between
cash flow and voting rights, the lower the abnormal returns resulting from venturing announcements. Also, they report that the degree of family control is also negatively related to degree of abnormal returns. Interestingly, the level of institutional ownership moderates these relationships. The third article by Chen, Elder, and Hung (2010) also focuses on the governance environment in Taiwan, where more than half of the listed firms are concentrated in high technology industries. Chen and associates seek to understand the relationship between institutional environment, ownership and earnings management. Using contracting
theory, they find that managers in high growth firms are more likely to engage in earnings management since it is harder to monitor their internal activities than managers in relatively low growth firms. Building on the concept of “investment opportunity set”, they show that Taiwanese managers tend to take advantage of asymmetric information through discretionary accruals. Rost and Osterloh (2010) redirect our attention to corporate governance in the aftermath of the global financial crisis. Using the upper echelons perspective, they theorize that financial experts will perform better in stable and predictable economic environments, but that more diverse collections of financial and non-financial experts will perform better in turbulent financial environments. Furthermore, they argue the male-dominated teams will perform better in “normal” situations, but that more gender diverse teams will perform better in “abnormal” conditions. In essence, the theoretical argument is that team diversity functions best in turbulent situations. Interestingly, they provide two studies which support their predictions. The first study is comprised of 479 students in Switzerland in a laboratory experiment where the students were asked to predict the future stock price of UBS bank. The second study is a field study which examined the top management teams of 30 banks in Switzerland. Both studies largely confirm the predictions leading to rather robust and novel insights. Finally, Chen, Chung, Hsu, and Wu (2010) refine our understanding of the corporate governance-firm value relationship within the United States. Using longitudinal data from 1990 to 2005, they predict that the corporate governance-firm value relationship is strongest for those firms with a high external financing need and relatively weak otherwise. Indeed, they do find external financing need to be positively related to the quality of corporate governance mechanisms in the firm, and that the greater the external need, the stronger the relationship. However, they report that firm value is positively related to subsequent internal corporate governance quality, not vice versa. As such, this longitudinal dataset confirms some expectations and creates some new questions to be explored. I commend this issue to your reading pleasure, and encourage you to refine and extend these insights. Many thanks to all the authors, reviewers, and editors who helped to pull this issue together. It clearly is a global team effort as we collectively seek to make our mark on the global
economy.

Empat Pilar Pembangunan

Diposkan oleh OtonomiDaerah.Net
Kebijakan pemberlakuan otonomi membuat setiap daerah memiliki kewenangan yang cukup besar dalam mengambil keputusan yang dianggap sesuai. Terlebih dengan pemilihan kepala daerah (pilkada) secara langsung yang diselenggarakan sejak tahun 2005, membuat kepala daerah terpilih mendapat legitimasi lebih kuat, dibanding saat dipilih oleh anggota DPRD.

Tentunya kepala daerah hasil pilkada langsung ini membuahkan harapan yang cukup besar bagi masyarakat, yaitu kesejahteraan yang akan makin meningkat. Tetapi harapan tersebut ternyata tidak mudah untuk diwujudkan. Kekuatan visi & kompetensi kepala daerah terpilih menjadi salah satu penentu, di samping faktor-faktor lain. Tantangan terberat bagi kepala daerah terpilih adalah melaksanakan visi, misi, dan janji-janji semasa kampanye, yang hampir semuanya pasti baik.

Setidaknya ada empat hal yang harus dimiliki dan disiapkan oleh seorang Kepala Daerah agar visi membangun dan mensejahterakan rakyatnya menjadi kenyataan. Empat hal itulah yang disebut dengan 4 Pilar Pembangunan. Disebut empat pilar pembangunan karena dengan 4 hal ini diharapkan seorang kepala daerah dapat menjalankan perannya dalam membangun daerahnya bisa optimal.

Pilar Pertama: Sumber Daya Manusia (SDM)

Mengapa SDM ? Karena pada dasarnya manusialah yang menjadi pelaku dan penentu. SDM seperti apa yang diperlukan ? Yaitu SDM yang memiliki: moral yang baik (good morality), kemampuan kepemimpinan (leadership), kemampuan manajerial (managerial skill), dan kemampuan teknis (technical skill). Seorang kepala daerah perlu didukung oleh aparat yang mempunyai empat kualifikasi tersebut, diberbagai level jabatan & fungsinya.

Moral yang baik menjadi prasyarat utama. Karena tanpa moral yang baik, semua kebijakan, sistem, program maupun kegiatan yang dirancang akan menjadi sia-sia. Tentunya kita menyaksikan terjadinya krisis moneter yang dimulai tahun 1997 lalu, kemudian krisis ekonomi, krisis kepemimpinan, dan masih terus berlanjut yang hingga sekarang masih dirasakan dampaknya. Sebab utama terjadinya krisis itu tidak lain adalah rendahnya moral sebagian pengambil kebijakan negeri ini.

Moral yang baik akan menghasilkan sebuah pemerintahan yang bersih dari tindakan korupsi, kolusi, dan nepotisme demi kepentingan pribadi atau golongan tertentu saja. Saat ini tuntutan penerapan 3G (Good Government Governance) terus-menerus digaungkan oleh berbagai pihak. Penerapan prinsip-prinsip transparansi & akuntabilitas tanpa didukung oleh aparat yang bermoral baik, pada akhirnya hanya akan berhenti di tingkat wacana saja.

Oleh karena itu, sejak awal dilantik, seorang kepala daerah harus segera menyiapkan aparatnya dalam aspek moral ini. Termasuk menjadikan dirinya sebagai teladan bagi semua bawahannya.

Moral yang baik belumlah cukup, tapi juga harus diimbangi dengan kompetensi. Yaitu kemampuan di bidang kepemimpinan, manajerial, dan teknis. Untuk mencapai kompetensi yang diperlukan, tidak terlepas dari sistem kepegawaian yang diterapkan. Model manajemen SDM berbasis kompetensi nampaknya menjadi keniscayaan. Termasuk sistem kompensasi yang memadai harus menjadi perhatian.

Selain itu perlu didukung dengan perubahan paradigma, yaitu dari mental penguasa menjadi pelayan masyarakat. Termasuk budaya kerja yang proaktif & cepat tanggap terhadap persoalan yang dihadapi masyarakat.

Pilar Kedua: Kebijakan

Maksudnya adalah berbagai konsep kebijakan yang berpihak kepada berbagai stakeholder, terutama kepentingan masyarakat luas. Secara formal, kebijakan tersebut akan dituangkan dalam peraturan daerah (perda) maupun peraturan kepala daerah.

Kepala daerah antara lain harus memiliki konsep pembangunan berkelanjutan & berkeadilan, konsep manajemen pemerintahan yang efektif & efisien, konsep investasi yang mengakomodir kepentingan pihak terkait, serta berbagai konsep kebijakan lainnya.

Hal ini sesuai dengan UU No. 25 Tahun 2004 dan UU No. 32 Tahun 2004, yang mengamanatkan kepala daerah untuk menyusun RPJMD (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah), yang menjabarkan visi & misinya selama lima tahun masa pemerintahannya. Sehingga dengan demikian arah pembangunan sejak dilantik hingga lima tahun ke depan sudah jelas.

Salah satu indikator keberhasilan pembangunan suatu daerah antara lain jika pemerintah dapat memenuhi 5 kebutuhan dasar masyarakatnya, yaitu: pangan, sandang, papan (perumahan), pendidikan, dan kesehatan. Selain itu kepala daerah harus mampu melihat suatu permasalahan secara komprehensif dan integratif, jangan sampai terjebak hanya melihat secara sektoral dan parsial, ataupun keuntungan jangka pendek.

Jangan sampai seorang kepala daerah tidak tahu harus berbuat apa. Jika demikian, pemerintahan akan berjalan tak tentu arah. Sehingga pada akhirnya, rakyatlah yang harus menanggung akibatnya.

Pilar Ketiga: Sistem

Artinya pemerintahan harus berjalan berdasarkan sistem, bukan tergantung pada figur. Sangat penting bagi kepala daerah untuk membangun sistem pemerintahan yang kuat.

Beberapa sistem yang harus dibangun agar pemerintahan dapat berjalan secara baik antara lain: sistem perencanaan pembangunan, sistem pengelolaan keuangan daerah, sistem kepegawaian, sistem pengelolaan aset daerah, sistem pengambilan keputusan, sistem penyeleksian dan pemilihan rekanan, sistem dan standar pelayanan, sistem pengawasan.

Sistem yang dimaksud di sini dapat bersifat manual maupun yang berbasis teknologi informasi. Dukungan teknologi informasi menjadi sesuatu yang tidak dapat dielakkan jika pemerintahan ingin berjalan lebih efisien dan efektif.

Penerapan sistem-sistem tersebut akan mendorong terjadinya 3G (Good Government Governance), yang pada akhirnya akan menghasilkan pemerintahan yang transparan dan akuntabel.

Pilar Keempat: Investasi

Tidaklah mungkin suatu pemerintahan daerah hanya mengandalkan dana dari APBD untuk membangun daerahnya. Mengapa ? Karena bisa dikatakan, sebagian besar daerah menggunakan rata-rata 2/3 dana APBD tersebut untuk membiayai penyelenggaraan aparaturnya. Hanya sekitar 1/3 yang dapat dialokasikan untuk pembangunan.

Dibutuhkan dana ratusan milyar bahkan triliunan rupiah untuk membangun infrastruktur, seperti pembangkit listrik, jalan tol, pelabuhan laut, bandar udara, telekomunikasi, rumah sakit, hotel. Sedangkan infrastruktur merupakan syarat agar sebuah daerah dapat berkembang. Contoh lain adalah dalam rangka mengoptimalkan potensi sumber daya alam yang dimiliki, juga memerlukan dana yang tidak sedikit, yang tentunya tidak mungkin jika hanya mengandalkan dana APBD saja.

Dengan keterbatasan dana yang dimiliki tersebut, mau tidak mau pemerintah daerah harus melibatkan pihak investor (dalam maupun luar negeri) dalam membangun daerahnya. Kepala daerah harus dapat menciptakan iklim yang kondusif agar para investor tertarik untuk menanamkan investasi di daerahnya.

Setidaknya ada empat stakeholder yang harus diperhatikan kepentingannya saat kita bicara tentang investasi, yaitu pihak investor, pemerintah daerah, masyarakat, dan lingkungan. Investor tentunya berkepentingan agar dana yang dinvestasikannya menghasilkan profit yang memadai, ingin mendapatkan berbagai kemudahan dan adanya jaminan keamanan dalam berinvestasi. Pihak pemerintah daerah ingin agar pendapatan asli daerahnya (PAD) meningkat. Masyarakat berharap kesejahteraannya makin meningkat dan lapangan kerja makin terbuka. Lingkungan perlu diperhatikan agar tetap terjaga kelestariannya. Jangan sampai karena terlalu bersemangat, akhirnya secara jangka panjang terjadi pengrusakan lingkungan.

Oleh karena itu dibutuhkan kebijakan dan model investasi yang dapat menyeimbangkan berbagai kepentingan tersebut.

Demikianlah empat pilar pembangunan yang dapat dijadikan bekal bagi kepala daerah dalam memimpin daerahnya. Selamat berjuang pak Gubernur, Bupati, dan Walikota ! Harapan rakyat ada di pundak anda.

Tingkatkan Relasi Sosial RI-AS

Tingkatkan Relasi Sosial RI-AS